TUT WURI HANDAYANI, tulisan itu tertera di dalam sebuah bidang segi lima yang berwarna biru muda, sebagai lambang Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana diatur di dalam Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0398/M/1977, tanggal 6 September 1977. Tentu
saja, bidang segi lima itu menggambarkan Ideologi Bangsa Indonesia Pancasila. Kalimat Tut Wuri
Handayani adalah salah satu semboyan yang digunakan Ki Hajar Dewantara, menteri
pendidikan pertama Indonesia dalam
melaksanakan sistem pendidikannya. Tut Wuri Handayani merupakan satu dari tiga
semboyan yang diterapkan Ki Hajar Dewantara, ketiga semboyan itu dalam bahasa
Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo
mangun karso, tut wuri handayani (di depan, seorang
pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik, di tengah harus
menciptakan prakarsa dan ide, dari belakang harus bisa memberikan dorongan dan arahan).
Bagi seorang yang memiliki pemahaman yang mendalam dan komitmen yang tinggi terhadap pendidikan, semboyan Ki Hajar Diwantara itu bukan sekedar semboyan belaka, melainkan adalah suatu filsafat pendidikan yang penuh makna. Hal ini terbukti dari perjalanan sejarah, ketiga semboyan itu telah menjadi fondasi pendidikan di negeri yang kita cintai ini yang mampu melahirkan pemimpin, tokoh, ilmuan yang diakui baik skala nasional maupun internasional. Filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara sangat sejalan dengan filsafat Bangsa Indonesia Pancasila. Memang, pendidikan tidak boleh lari dari filfatanya karena filsafat pendidikan berfungsi selain sebagai fondasi pendidikan tapi sekaligus sebagai arah pendidikan itu sendiri. Jika saja negeri ini konsisten menerapkan fisafat pendidkan Ki Hajar Dewantara tersebut maka sistem pendidikan akan menjadi sangat jelas arahnya, bagaiman mencetak warga negara yang mampu menjadi sosok panutan, teladan, yang penuh kreativitas, inovatif dan sekaligus sebagai pemberi motivasi (motivator).
Di sinilah menurut penulis patut menjadi renungan bangsa ini, apakah sesungguhnya yang menjadi fslsafat pendidikan kita saat ini. Pancasila, kita bisa mengklaim Pancasila sebagai ideologi negara sekaligus sebagai filsafat pendidikan. Akan tetapi, mengapa yang dihasilkan oleh pendidikan kita justru warga negara yang pola pikir dan perilakunya tidak sejalan dengan Pancasila. Ada beberapa kemungkinan di sini. Pertama kita tetap konsisten menjadikan Pancasilan sebagai filsafat pendidikan kita, tapi kita tidak konsisten mengimplementasikannya ke dalam proses pendidikan yang konprehensif. Kedua kita memang sudah tidak lagi menjadikan Pancasila sebagai filsafat pendidikan kita. Jawabannya “tanyakan pada rumput yang bergoyang” (tidak akan pernah ada kejelasan). Filsafat pendidikan itu bukan saja harus menjadi landasan bagi pengembangan kurikulum, tapi yang terpenting harus terintegrasi ke dalam keseluruhan proses pendidikan mulai dari perumusan kebijakan pendidikan sampai pada perilaku guru di dalam kelas.
Pemahan yang cukup terhadap filsafat pendidikan oleh para penyelenggara pendidikan baik secara struktural (para pejabat dan pengambil kebijakan, dari tingkat pusat sampai daerah) maupun secara fungsional (khususnya para pendidik dan praktisi pendidikan) akan menentukan apakah sistem pendidikan kita memiliki arah yang sesuai dengan cita-cita luhur Bangsa Indonesia. Poin yang ingin penulis tegaskan di sini adalah jangan menganggap bahwa jika semua anak usia sekolah sudah mendapatkan hak pendidikannya lantas persoalan pendidikan dianggap sudah selesai. Pertanyaan yang paling mendasar dalam hal ini adalah apakah sekolah seagai suatu subsistem pendidikan telah berfungsi secara benar sebagai institusi pendidikan ?, apakah lulusan yang dihasilkan oleh institusi pendidikan kita sudah sejalan dengan filsafat pendidikan kita? Sekali lagi jawabannya bisa ditanyakan pada “rumput yang bergoyang”.
Secara filosofis pendidikan adalah upaya sistematis untuk membantu pertumbuhan anak (peserta didik) agar menjadi manusia dewasa yang dicirikan oleh kematangan, baik kedewasaan fisik, kecerdasan intelektual mapun kecerdasan emosional. Inilah sosok manusia yang memiliki daya kompetitif yang kuat karena seluruh potensi dirinya berfungsi secara optimal. Dengan kata lain, ada orang yang dewasa fisiknya tapi tidak memiliki kematangan kecerdasan intelektual dan emosional. Tipe manusia seperti ini hidupnya hanya mengandalkan kekuatan fisik dan jika tidak diarahkan dengan baik berpotensi menjadi “preman”. Sebaliknya, ada orang memiliki kematangan intelektual dan emosional, tapi tidak memiliki kedewasaan fisiik, orang semacam ini tetap akan menjadi lemah karena geraknya terbatas dan ketergantungannya pada pihak lain tetap kuat.
Aspek filosofis pendidikan ini harus dijadikan prinsip dasar dalam penyelenggaraan sistem pendidikan yang baik. Karena itu, jika ada stakeholder terutama pelaku pendidikan yang tidak memamahami atau tidak care pada persoalan ini jangan heran jika pendidikan itu akan kehilangan rohnya alias mati. Indkator pendidikan hanya bersifat kuantitaif, yang penting anak-anak bersekolah, tanpa memiliki arah yang jelas kelwuarannya akan seperti apa. Selanjutnya, jika aspek filosofis pendidikan itu sudah terintegrasi ke dalam keseluruhan proses pendidikan, maka tahap berikutnya menjawab pertanyaan apa yang menjadi konten (isi, muatan) yang menjadi masukan terhadap proses transformasi tersebut. Hal ini sama pentingnya, karena konten ini akan sangat menentukan profil lulusan suatu institusi pendidikan. Konten itu bukan hanya terkait dengan bagaimana merumuskan materi pembalajaran yang akan diberikan kepada anak (peserta didik), tetapi lebih dari itu adalah ketepatan materi yang diformulasikan untuk menjamin kesuksesan masa depan anak didik. Secara filosofis keberhasilan pendidikan itu bukan hanya dilihat dari perubahan yang terjadi pada diri anak didik saat ini, malinkan juga dilihat dari proses aktualisasi dirinya ketika ia menjadi bagian yang integral dari masyarakat yang dewasa. Keberhasilan atau kegagalan kita saat ini bukan ditentukan oleh proses pendidikan saat ini, tetapi ditentukan oleh proses pendidikan masa lalu. Demikian pula sebaliknya, proses pendidikan saat ini akan menentukan keberhasilan atau kegagalan masa depan. Jika proses pendidikan saat ini gagal mengantarkan maa depan anak didik untuk menjadi pelaku pembangunan yang konstruktif di masa yang akan datang, maka hasil-hasil pembangunan hari ini akan menjadi sirna. Banyak pengalaman sejarah yang telah membuktikannya.
Dengan demikian, ibarat mengemudikan kendaraan kita tidak bleh hanya melihat kaca spion tanpa melihat ke depan, maka kendaraan itu akan liar. Begitu juga pendidikan tidak boleh hanya melihat masa lalu, bukan berarti masa lalu (sejarah) itu tidak penting, akan tetapi permsalahannya adalah bagaimana menjadikan masa lalu untuk menginspirasi dan memperkuat daya antisipasi, apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Inilah sesunguhnya yang disebut dengan pendidikan yang visoner agar memiliki daya kompetitif yang kuat, karena hakkikat kompetisi itu adalah merebut masa depan yang lebih baik dari kompetitor. Dalam konteks memenangkan kompetisi, memahami kekuatan kompetitor (pesaing) adalah modal dasar untuk memenangkan kompetisi. Jika salah satu tujuan pendidikan adalah untuk mempersiapkan lulusan agar memiliki daya kompetitif yang kuat, maka konten pendidikan harus memuat informasi yang lengkap tentang lingkungan strategis dan strategi memenangkan persaingan. Informasi lingkungan strategis itu dapat dilihat secara berjenjang dari lingkungan global, nasional sampai kepada lingkungan lokal (daerah). Dalam konteks Provinsi Lampung yang memiliki posis geografis yang strategis karena paling dekat Jakarta sebagai ibu kota negara, di samping sebagai pintu gerbang pulau Sumatera, maka pengaruh lingkungan strategis menjadi sangat penting.
Dari perspektif global paling tidak isu penting yang sudah berada di depan mata kita, yaitu terbentuknya komunitas Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).Tujuan MEA untuk menciptakan ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal dan kesatuan berbasis produksi, investasi dan modal, serta penghapusan tarif bagi perdagangan antarnegara ASEAN.MEA, di satu sisi, dapat dijadikan sebagai momen penting karena akan memberikan peluang kepada pelaku usaha di Indonesia untuk memperluas pasar bagi produk-produk industri nasional. Di sisi lain, pemberlakuan MEA juga akan menjadi tantangan, mengingat penduduk Indonesia yang sangat besar akan menjadi pasar potensial bagi produk-produk negara ASEAN lainnya. Artinya persaingan pasar akan semakin ketat antara produk-produk dalam negeri dengan produk-produk negara-negara ASEAN lainnya.
Adapun kata kunci dari persaingan tersebut adalah kualitas SDM yang dihasilkan oleh proses pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan menjadi taruhan negeri ini dalam menghadapi persaingan global tersebut. Kalimat ini sangat familiar dengan hampir semua kita karena sering sekali dilontarkan oleh para pejabat, pelaku usaha, tokoh masyarakat dan termasuk akademisi. Akan tetapi, sebaliknya pendidikan yang bagaimana sebagai solusinya sangat jarang kita dengar. Memahami permasalahan tampa menemukan solusinya dapat memperdalam masalaha itu sendiri. Oleh karena itu, penulis mencoba mengidentifikasi perubahan paradigma pendidikan sebagai tawaran alternatif solusi masalah tersebut.
Pertama, kebijakan pendidikan baik di
tingkat pusat maupun daerah harus diarahkan untuk menempatkan pendidikan
sebagai wahana memahami secara konprehensif isu globalisasi baik dari
perspektif ekonomi, sosial, kebudayaan dan pertahanan kemanan. Perspektif
global harus diintegrasikan dalam konten dan proses pendidikan di sekolah.
Sebagai contoh mata pelajaran Sosiologi di SMA harus mengandung muatan
membentuk budaya global dengan tujuan agar peserta didik memiliki kesiapan
dalam arus interaksi global. Pada akhirnya muatan ini dapat menjadikan peserta
dididk memiliki kesadaran dan kesiapan untuk menjadi bagian yang integral dari
masyarakat global yang modern.
Kedua, pemerintah harus menerapkan
standar global dalam upaya meningkatkan kompetensi dan profesionalitas tenaga
pendidik dan tenaga kependidikan. Sebagai contoh para guru sebagai tenaga
pendidik harus difasilitasi untuk meningkatkan kemamuan berbahasa Inggris dan
penguasaan TIK (Teknologi,Informasi dan Komunikasi). Globalisasi dapat menjadi
invasi, ekonomi dan IPTEK jika kita lemah dalam bidang tersebut. Namun, perlu
dibuat strategi pembinaan yang tepat, jangan sampai untuk mencapai kompetensi
itu tiba-tiba guru hanya diwajibkan mengikuti uji kompetensi melalui tes tanpa
dilakukan pembinaan secara intensif terlebih dahulu. Pengalaman penulis dalam
menyelenggarakan PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru), tidak sedikit
penulis melihat guru-guru kita memiliki kemampuan performance yang cukup bahkan sangat baik,
tetapi mengapa ketika selesai PLG dan guru-guru kembali ke sekolahnya
masing-masing, sebahagian besar kembali
seperti tidak pernah mengikuiti PLPG. Artinya ada yang tidak nyambung antara
PLPG dan pola pembinaan di lapangan.
Ketiga, jadikan filsafat Kihajar
Dewantara dan Pancasila sebagai filsafat pendidikan kita. Inti memangkan
persaingan global adalah mendapatkan nilai tambah dari setiap produk yang
dihasilkan. Oleh karena itu, pendidikan harus memberikan ruang seluas-luasnya
baik kepada pendidik maupun peserta didik untuk mengembangkan daya kreasinya
agar dapat menghasilkan produk-produk inovatif. Jika tenaga pendidik dan tenaga
kependidikan sudah memiliki standar kompetensi secara global, sudah saatnya
kita memberikan otonomi akademik yang lebih luas kepada guru dan tenaga
kependidikan. Pemerinah, Pemerintah Daerah termasuk Pejabat Dinas Pendidikan
agar mengurangi intervensi akademik kepada pihak sekolah. Penilaian terhadap
proses harus dikedepankan daripada penilaian terhadap hasil. Hal yang esiensial
dari pendidikan itu adalah proses perubahan yang terjadi pada peserta didik.
Kempat, pendidikan harus mampu
memperkuat jati diri bangsa Indonesia melalui penanaman nilai-nilai luhur yang
telah diwariskan oleh para pejuang dan pendiiri negara ini. Oleh karena itu,
untuk memperkuat pendidikan karakter, proses pendidikan tidak hanya berupa transfer of knowledge, melainkan harus
mencakup internalization of values.
Tujuan akhir suatu proses pendidikan adalah bagaimana seseorang memiliki
sejumlah nilai agar ia mampu mengaktualisasikan ilmu penetahuan dan
keterampilan yang dimilikinya. Jadi tanpa internaisasi nilai, maka ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya menjadi mandul.
Pendidikan dan keunggulan lokal Lampung
Provinsi Lampungsangat terkenal dengan hasil pertanian seperti padi dan sayuran, perkebunan seperti kopi, karet dan coklat. Lampung juga sangat dikenal dengan obyek pariwisata baik wisata alam maupun wisata budaya. Pada bagian ini penulis mengajukan beberapa formulasi pendidikan untuk mengembangkan keunggulan lokal Lampung agar memiliki daya saing yang kuat.
Pertama, Memperkuat muatan lokal dalam
konten pembelajaran, bukan kurikulum muatan lokal. Pendidikan harus mampu
menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan peserta didik terhaap perbagai keunggulan
lokal Lampung. Caranya dengan mengintegrasikan informasi dan pengetahuan
keunggulan lokal Lampung ke dalam proses pembeajaran. Contohnya dalam mata
pelajaran IPS di SMP dapat diintegrasikan pengetahuan tentang keunggulan sektor
pertanian, perkebunan dan pariwisata yang ada di Provinsi Lampung. Jika
dimungkinkan ada baiknya peserta didik diajak mengunjungi obyek-obyek sektor
unggulan tersebut. Jangan sampai anak-anak Lampung tidak mengenal daerahnya
sendiri. Melalui kecintaan dan kebanggaan peserta dididk terhadap keungulan
lokal Lampung diharapkan tumbuh motivasi dalam diri mereka untuk memiliki
cita-cita menjadi pelaku pembangunan di daerahnya sendiri.
Kedua, Secara sosial masyarakat
lampung adalah masyarakat yang paling majemuk di Indonesia, bahkan Lampung
sering disebut sebagai miniaturnya Indonesia,
lantaran hampir semua etnik yang ada di Indonesia bisa ditemukan di
Lampung. Apabila peserta didik mampu diperkenalkan dengan kondisi sosial
tersebut, maka masyarakat Lampung merupakan masyarakat yang paling siap
berinteraksi dengan masyarakat luar Lampung. Artinya masyarakat di Lampung akan
menjadi masyarakat yang arif, terbuka dan memiliki rasa nasionalisme yang lebih
tinggi. Untuk itu, diperlukan model pendidikan multi kultural di tingkat
sekolah. Model pendidikan multi kultural tidak harus dilakukan dengan model monolitik
sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri, tapi dapat diintegrasikan ke dalam
semua mata pelajaran yang ada di sekolah.
Ketiga, kebijakan pendidikan di Daerah
Lampung harus diprioritaskan untuk mengurangi bahkan menghilangkan disparitas
mutu pendidikan antar wilayah, bahkan sampai pada antar sekolah. Hal ini sangat
penting agar proses transformasi pengetahuan dan keterampilan serta
internalisasi nilai berjalan secara merata, sehingga tidak terjadi ketimpangan
kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosianal di daerah.
Perwujudan beberapa pemikirian di atas sangat ditentukan oleh sinergisitas kebijakan, tindakan dan cara pandang semua stakeholder yang terkait. Menyatunya pemerintah, masyarakat, sekolah ke dalam satu paradigma pendidkan yang visioner untuk memperkuat daya saing menjadi prasyarat mutlak untuk menjadikan pendidikan sebagai wahana perubahan ke arah masyarakat Lampung yang harmonis, cinta rumahnya sendiri untuk meraih keungulan di tengah persaingan global.
(Bujang Rahman)
Perwujudan beberapa pemikirian di atas sangat ditentukan oleh sinergisitas kebijakan, tindakan dan cara pandang semua stakeholder yang terkait. Menyatunya pemerintah, masyarakat, sekolah ke dalam satu paradigma pendidkan yang visioner untuk memperkuat daya saing menjadi prasyarat mutlak untuk menjadikan pendidikan sebagai wahana perubahan ke arah masyarakat Lampung yang harmonis, cinta rumahnya sendiri untuk meraih keungulan di tengah persaingan global.
(Bujang Rahman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar